Dampak Penyatuan Zona Waktu Indonesia Terhadap Pola Jam Kerja di Indonesia
Penyatuan zona waktu
merupakan sebuah peristiwa yang tidak asing bagi warga masyarakat di dunia.
Banyak negara di dunia yang memiliki wilayah cukup besar dan memanjang dari
timur ke barat memiliki permasalahan yang sama, yaitu perbedaan waktu.
Perbedaan waktu ini menyebabkan adanya ketidakseragaman waktu pada satu negara.
Namun, hal ini wajar karena tentu setiap tempat akan memiliki perbedaan waktu
karena bumi berotasi. Bumi dibagi menjadi 24 zona waktu dengan perbedaan
sebesar 4 menit tiap 1 derajat atau 1 jam tiap 15 derajat. Patokan yang
digunakan dalam perhitungan zona waktu adalah GMT, GMT+ berarti ke arah timur
dan GMT- ke arah barat.
Berdasarkan sejarah
perubahan zona waktu Indonesia, menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya pada
tahun 2012 saja ada wacana penyatuan zona waktu. Penyatuan zona waktu ini menurut
media massa lebih menitikberatkan pada aktivitas ekonomi Indonesia. Hal ini
mungkin terdorong oleh penyatuan zona waktu di Samoa, dimana Samoa masuk
wilayah zona GMT+14. Alasannya adalah untuk menyamakan ritme waktu kerja dengan
Selandia Baru dan Australia. Namun, menurut beberapa pakar, langkah penyatuan
zona waktu Indonesia menjadi satu zona waktu adalah tidak tepat.
Muh. Ma’rufin Sudibyo (2012) memberikan
pernyataan sebagai berikut.
Rumusan astronomis
tentang jumlah zona waktu bagi suatu negara pun cukup sederhana. Jumlah zona
waktu adalah jarak bujur, yakni selisih antara garis bujur terbarat dan
tertimur dalam negara tersebut, dibagi 15. Sehingga bagi negara seperti
Indonesia yang jarak bujurnya 46 derajat, maka jumlah zona waktunya menjadi 46/15
~ 3 dan inilah yang mendasari adanya tiga zona waktu Indonesia (WIB, WITA dan
WIT). Meski demikian kebijakan penentuan zona waktu diserahkan kepada
kepentingan masing-masing negara.
Banyak
sekali perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari ketika zona waktu
Indonesia disatukan. Diantaranya yang paling signifikan adalah pola jam kerja
di Indonesia. Masyarakat saat ini sudah terbiasa dengan zona waktu Indonesia
saat ini yang mendekati sama dengan jam matahari. Manusia secara alami akan
menyesuaikan dengan jam matahari yang sesuai dengan kinerja tubuh atau sering
disebut jam biologis. Efek utama dari penyatuan zona waktu Indonesia adalah
kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi pola jam yang sama, padahal
secara jam matahari belum sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya penimbangan
secara bijaksana antar berbagai aspek.
Pola
Pembagian Waktu Dunia
Dalam pola pembagian
waktu dunia, para ahli membagi bumi menjadi 24 daerah waktu dengan rentang 15o,
sehingga tiap 15o berbeda 1 jam (Hartono, 1990/1991: 11). Pada
awalnya, tidak ada patokan bujur standar yang digunakan sebagai awal
perhitungan waktu. Pada tahun 1884 diadakan Konferensi Meridian Internasional
untuk membahas dan menentukan dimana posisi garis bujur utama. Peserta
konferensi ini diikuti oleh negara-negara kuat pada waktu itu, diantaranya
yakni Britania Raya, Amerika Serikat, dan Perancis. Setelah melalui
perdebatan-perdebatan antar anggota konferensi, akhirnya Britania Raya
memperoleh kemenangan dalam perdebatan ini. Dengan demikian, garis bujur utama
bumi adalah garis bujur yang melalui kompleks Royal Observatory of Greenwich di
kota London, sehingga muncul istilah Greenwich Mean Time (GMT). Untuk daerah
yang berada disebelah timur Greenwich, maka nilai jamnya ditambah (GMT+) dan
untuk daerah yang berada disebelah barat Greenwich, maka nilai jamnya dikurangi
(GMT-). Namun Perancis masih belum bisa menerima keputusan konferensi ini.
Akhirnya, Perancis menerima keputusan ini pada akhir perang dunia I. Dibawah
ini adalah gambar pola pembagian waktu dunia.
Gambar 1. Pola Pembagian Waktu Dunia (Sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/Time_zone)
Penentuan garis bujur
utama ini selain ditujukan untuk membagi zona waktu dunia, juga digunakan untuk
menentukan garis batas penanggalan internasional. Garis batas penanggalan
internasional ini berada pada garis bujur 180 BB/BT atau pada GMT+12/GMT-12.
Pada wilayah sebelah timur garis ini, maka wilayah tersebut terlambat satu hari
dengan wilayah di sebelah barat garis ini. Garis batas penanggalan
internasional ini melewati negara-negara pasifik seperti Samoa, Kiribati, dan
Tonga. Permasalahan pun terjadi pada negara-negara tersebut. Sebagai contoh,
Kiribati yang memiliki zona waktu GMT+12, GMT-12, dan GMT-11 mengalami
permasalahan di berbagai bidang karena perbedaan hari antar wilayah bagian
barat dengan wilayah bagian tengah dan timur. Akhirnya, untuk memperoleh
efisiensi dalam kinerja di berbagai bidang, Kiribati mengubah zona waktunya
menjadi GMT+12, GMT+13, dan GMT+14. Akibat dari perubahan zona waktu tersebut
adalah ”Sejak 1995 TU, ditetapkan Garis Batas Penanggalan Internasional yang
melintasi negara ini berbelok ke timur hingga sejajar garis 150o 25’
BB, atau berbelok 1.000 km lebih” (Sudibyo, 2012: 104).
Dari pemaparan di atas,
menunjukkan bahwa pola pembagian waktu di dunia tidak sesuai dengan perhitungan
dari berbagai ahli. Banyak sekali negara-negara dengan wilayah yang relatif
luas menggunakan pola pembagian waktu yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini menunjukkan
bahwa pola pembagian waktu ada dalam wewenang pemerintah, atau dalam hal ini
unsur politik sangat mempengaruhi. Salah satu bentuk unsur politik yang paling
terlihat adalah pada batas garis penanggalan internasional. Seharusnya, garis
batas penanggalan internasional berupa garis lurus, namun seperti terlihat pada
gambar diatas, garis tersebut tidak lurus.
Pola
Jam Kerja di Indonesia
Pola jam kerja di
Indonesia diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Menurut UU
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 77 ayat 2, waktu kerja di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. 7
(tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Untuk waktu istirahat, menurut UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat 2a adalah sebagai berikut:
a.
istirahat antara jam kerja,
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
Di Indonesia, jam kerja
umumnya dimulai pukul 08.00 dan berakhir pada pukul 15.00 atau 16.00. Jam
istirahat berada pada kisaran pukul 12.00. Apabila ditinjau, pola jam kerja di
Indonesia saat ini sudah berjalan sesuai dengan jam matahari. Pukul 08.00
merupakan waktu dimana matahari berada pada posisi yang tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu rendah, sehingga para pekerja mendapatkan semangat kerja yang
optimal. Selanjutnya, jam istirahat pukul 12.00 merupakan waktu yang tepat,
dimana para pekerja sudah waktunya untuk makan siang dan bagi penduduk
Indonesia yang beragama Islam dapat menunaikan sholat Dhuhur di jam
istirahatnya. Kemudian, jam kerja berakhir pukul 15.00 atau 16.00 juga
merupakan waktu yang tepat, dimana kondisi para pekerja sudah cukup lelah untuk
melanjutkan aktivitas kerja sehingga sudah saatnya untuk pulang ke tempat
tinggal masing-masing dan bagi pekerja muslim dapat menunaikan sholat Ashar.
Pola jam kerja ini memiliki ritme yang relatif sama dengan ritme jam matahari.
Terdapat dampak yang
cukup signifikan dari penyatuan zona waktu Indonesia terhadapa pola jam kerja
di Indonesia. Dampak yang paling terasa terjadi di masyarakat Indonesia bagian
barat dan Indonesia bagian timur. Para pekerja di Indonesia bagian timur akan
masuk kerja ketika matahari sudah cukup tinggi, sedangkan para pekerja di
Indonesia bagian barat akan masuk kerja ketika matahari masih belum terbit.
Sebaliknya, para pekerja di Indonesia bagian barat akan pulang kerja lebih awal
daripada pekerja di Indonesia bagian timur. Patokan yang digunakan untuk
bekerja adalah waktu matahari, bukan jam standar. ”Waktu Matahari adalah
waktu intrinsik yang dimiliki Matahari oleh posisinya akibat rotasi Bumi, yang
nampak secara gamblang dalam terbit dan terbenam” (Sudibyo, 2012).
Hal ini dikarenakan secara biologis, manusia akan lebih mudah beradaptasi
dengan waktu matahari.
Dampak lainnya yaitu
perubahan jam istirahat kerja. Di Indonesia bagian barat, istirahat jam kerja
akan mengalami perubahan yang paling signifikan daripada Indonesia bagian
timur. Perubahan jam istirahat kerja ini juga berdampak terhadap jadwal sholat
dhuhur bagi pekerja muslim di Indonesia barat, terutama di kota Banda Aceh.
Muh. Ma’rufin Sudibyo
(2012) memberi pernyataan sebagai berikut.
Bagi Banda Aceh, pada posisi zona WIB maka
awal waktu Dhuhur sepanjang tahun bervariasi di antara pukul 12:30 hingga 13:00
waktu sipil setempat. Maka sebagian institusi di sana (khususnya yang
menerapkan jam masuk pukul 08:00) menetapkan waktu istirahat siang pada pukul
13:00 hingga 14:00. Namun sebagian lainnya (khususnya yang menerapkan jam
istirahat pukul 12:00 hingga 13:00) pun masih menjumpai awal waktu Dhuhur. Jika
Banda Aceh berubah ke posisi WKI, maka awal waktu Dhuhur bergeser menjadi
antara pukul 13:30 hingga 14:00. Maka memaksakan jam istirahat siang antara
pukul 12:00 hingga 13:00 dalam sistem WKI bagi Banda Aceh jelas tidak efektif,
karena jam istirahat terjadi sebelum awal waktu Dhuhur.
Terdapat dua dampak
utama dari penyatuan zona waktu Indonesia terhadap pola jam kerja di Indonesia.
Dampak pertama yaitu adanya perbedaan jam masuk kerja di Indonesia bagian barat
dan Indonesia bagian timur, dan dampak yang kedua yaitu perubahan jam istirahat
kerja dan jadwal sholat Dhuhur dan Ashar, terutama di Indonesia bagian barat. Dengan
demikian, penyatuan zona waktu Indonesia kurang efektif dan tidak efisien
terhadap peningkatan kerja di Indonesia. Apabila terjadi penyamaan jam kerja di
Indonesia, maka produktivitas dimungkinkan turun karena ritme kerja yang tidak
mendasarkan waktu matahari. Akibatnya, pekerja akan mengalami gangguan fisik
dan rohani yang cukup berpengaruh terhadap produktivitas suatu barang dan jasa.
Dalam hal ini penyamaan jam kerja bukan dititikberatkan pada jam standar,
melainkan pada jam matahari. Penyusunan jam kerja yang tertuang dalam UU. No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah sesuai dengan ritme waktu matahari
sehingga pola jam kerja seperti sekarang terasa efektif dan efisien. Apabila
pemerintah tetap menginginkan penyatuan zona waktu, maka untuk penyusunan jam
kerja tetap mengacu pada waktu matahari. Sebagai contoh, di China yang hanya
menerapkan satu zona waktu, yakni setara WITA tetap menggunakan waktu matahari
untuk penyusunan jam kerjanya.
Prof. Dr. Thomas
Djamaluddin (2012) memberi pernyataan sebagai berikut.
Dengan 3 zona
waktu, waktu produktif : 8 jam. Dengan penyatuan zona waktu, di Barat dan Timur
Indonesia waktu produktif ~6jam. Waktu tengah hari yang lazimnya untuk makan siang
dan shalat dzhuhur menjadi tidak produktif bila dipaksakan jadi jam kerja.
Waktu terlalu pagi (di Indonesia Barat) dan terlalu petang (di Indonesia Timur)
juga potensial tidak produktif)
Prof. Dr. Thomas
Djamaluddin memberikan sebuah solusi untuk penyatuan zona waktu Indonesia,
yaitu dengan mengubah zona waktu Indonesia saat ini menjadi dua zona waktu. Zona
waktu ini menggunakan garis bujur rujukan 105 BT (GMT+7) dan 120 BT (GMT+8). Dibawah
ini adalah gambar pembagian zona waktu Indonesia menjadi dua zona waktu.
Gambar
2.2 Pembagian Zona Waktu Indonesia Menurut Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
(Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/03/11/zona-tunggal-waktu-indonesia-mempersatukan-tetapi-berpotensi-menimbulkan-inefi/)
Dibawah ini adalah
penjelasan mengenai perubahan zona waktu Indonesia menjadi dua zona waktu.
- Perbedaan waktu rujukan dengan waktu matahari di bujur 120 BT (Wilayah Timur WBI) = (120-105)/ 15 x 60 menit = 60 menit (tengah hari pukul 12:00-60 menit= 11:00 WBI)
- Perbedaan waktu rujukan dengan waktu matahari di bujur 95 BT (Wilayah Barat WBI) = (105-95)/ 15 x 60 menit = 40 menit (tengah hari pukul 12:00 + 40 menit = 12.40 WBI)
- Perbedaan waktu rujukan dengan waktu matahari di bujur 140 BT (Wilayah Timur WTI) = (140-120)/ 15 x 60 menit = 80 menit (tengah hari pukul 12:00-80 = 10:40 WTI)
- Perbedaan waktu rujukan dengan waktu matahari di bujur 114 BT (Wilayah Barat WTI) = (120-114)/ 15 x 60 menit = 24 menit (tengah hari pukul 12:00 + 24 menit = 12.24 WTI)
Dibawah ini adalah perbandingan
kelebihan dan kekurangan dari berbagai macam pembagian zona waktu Indonesia.
Tabel 1 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Berbagai Macam Pembagian Zona Waktu
Indonesia (Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/03/11/zona-tunggal-waktu-indonesia-mempersatukan-tetapi-berpotensi-menimbulkan-inefi/)
3
Zona Waktu
|
2
Zona Waktu
|
1
Zona Waktu
|
|
Kelebihan
|
· Saat
ini sudah berjalan
|
· Pulau
Kalimantan tidak terbagi
· Keragaman
zona waktu disederhanakan
|
· Tidak
ada keragaman waktu
|
Kekurangan
|
· Pulau
Kalimantan terbagi menjadi 2 zona waktu
· Zona
waktu terlalu beragam
|
· Tidak
ada
|
· Potensi
inefisiensi di wilayah Barat Indonesia yang padat penduduk
|
Djamaluddin (2012)
menyimpulkan sebagai berikut, ”Pilihan menyatukan 1,5 zona waktu (seperti India
dan Malaysia, dengan menjadikan Indonesia menjadi 2 zona waktu) tampaknya
merupakan pilihan optimal. Kalimantan bisa utuh menjadi satu zona waktu.
Potensi inefisiensi karena tambahan jeda waktu untuk sholat Dhuhur bisa
dihilangkan”. Dari penjelasan mengenai solusi pembagian zona waktu Indonesia, penyatuan
zona waktu Indonesia menjadi dua zona waktu merupakan pilihan yang tepat
apabila pemerintah tetap menginginkan penyatuan zona waktu Indonesia. Hal ini
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa penyatuan zona waktu Indonesia
hanya menekankan pada aspek ekonomi saja, padahal perlu dipertimbangkan
aspek-aspek lainnya, terutama aspek sosial yang berupa pola jam kerja di
Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan pola jam kerja saat ini
yang sudah beriringan dengan zona waktu Indonesia saat ini. Apabila pola jam
kerja nantinya akan dirubah dengan dasar waktu standar bukan waktu matahari,
maka masyarakat, khususnya para pekerja akan mengalami adaptasi yang sangat
signifikan dan dikhawatirkan kinerja tiap pekerja akan mengalami penurunan. Hal
ini dikarenakan pola jam kerja yang tidak sesuai dengan waktu matahari akan
berpengaruh terhadap kondisi fisik dan rohani para pekerja.
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah dalam pola pembagian waktu dunia, para ahli membagi bumi menjadi 24 daerah waktu dengan rentang 15o, sehingga tiap 15o berbeda 1 jam (Hartono, 1990/1991: 11). Namun, pola pembagian waktu di dunia tidak sesuai dengan perhitungan dari berbagai ahli. Pola pembagian waktu ada dalam wewenang pemerintah, atau dalam hal ini unsur politik sangat mempengaruhi. Hal ini terjadi juga di Indonesia, sehingga muncul rencana penyatuan zona waktu Indonesia. Penyatuan zona waktu ini memiliki dampak yang sangat serius, khususnya pada pola jam kerja di Indonesia. Padahal, pola jam kerja di Indonesia yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah memiliki ritme yang relatif sama dengan ritme jam matahari. Apabila rencana penyatuan zona waktu terlaksana, maka akan mengakibatkan perubahan pola jam kerja dan menimbulkan inefisiensi di berbagai bidang, khususnya produktivitas kerja.
Terdapat dua dampak utama dari penyatuan zona waktu Indonesia terhadap pola jam kerja di Indonesia. Dampak pertama yaitu adanya perbedaan jam masuk kerja di Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, dan dampak yang kedua yaitu perubahan jam istirahat kerja dan jadwal sholat Dhuhur dan Ashar, terutama di Indonesia bagian barat. Dengan demikian, penyatuan zona waktu Indonesia kurang efektif dan tidak efisien terhadap peningkatan kerja di Indonesia. Apabila terjadi penyamaan jam kerja di Indonesia, maka produktivitas dimungkinkan turun karena ritme kerja yang tidak mendasarkan waktu matahari. Akibatnya, pekerja akan mengalami gangguan fisik dan rohani yang cukup berpengaruh terhadap produktivitas suatu barang dan jasa. Dalam hal ini penyamaan jam kerja bukan dititikberatkan pada jam standar, melainkan pada jam matahari. Penyusunan jam kerja yang tertuang dalam UU. No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah sesuai dengan ritme waktu matahari sehingga pola jam kerja seperti sekarang terasa efektif dan efisien. Apabila pemerintah tetap menginginkan penyatuan zona waktu, maka untuk penyusunan jam kerja tetap mengacu pada waktu matahari. Sebagai contoh, di China yang hanya menerapkan satu zona waktu, yakni setara WITA tetap menggunakan waktu matahari untuk penyusunan jam kerjanya.
Solusi penyatuan zona waktu Indonesia menjadi dua zona waktu yang diusulkan oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin merupakan pilihan tepat apabila pemerintah tetap menginginkan penyatuan zona waktu Indonesia. Hal ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa penyatuan zona waktu Indonesia hanya menekankan pada aspek ekonomi saja, padahal perlu dipertimbangkan aspek-aspek lainnya, terutama aspek sosial yang berupa pola jam kerja di Indonesia.
Berdasarkan
pemaparan mengenai dampak penyatuan zona waktu Indonesia terhadap pola jam
kerja Indonesia, ada beberapa saran yang ditujukan kepada pemerintah dan
pengusaha di Indonesia. Saran untuk pemerintah adalah dalam pengambilan
keputusan mengenai penyatuan zona waktu Indonesia, pemerintah sebaiknya
mempertimbangkan aspek-aspek lain, terutama aspek sosial yang berkaitan dengan
pola jam kerja Indonesia. Apabila pemerintah tetap menginginkan penyatuan zona
waktuc Indonesia, maka solusi dari Prof. Dr. Thomas Djamluddin sebaiknya
dijalankan. Hal ini dikarenakan solusi penyatuan zona waktu Indonesia menjadi
dua zona waktu tidak memiliki kekurangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat
Indonesia. Apabila pemerintah tidak menerima solusi ini, maka akan terjadi
inefisiensi di berbagai bidang, khususnya pola jam kerja Indonesia. Saran untuk
pengusaha di Indonesia adalah, apabila pemerintah menetapkan zona waktu
Indonesia menjadi satu zona waktu, maka penyusunan pola jam kerja tetap mengacu
pada waktu matahari, bukan waktu standar. Apabila penyusunan pola jam kerja
mengacu pada waktu standar, maka akan terjadi inefisiensi yang cukup besar di
sebuah perusahaan.
Daftar Rujukan
Djamaluddin,
Thomas. 2012. Kata Mereka Menyatukan Zona
Waktu Menguntungkan: Benarkah?. (Online), (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/06/09/kata-mereka-menyatukan-zona-waktu-menguntungkan-benarkah/
), diakses 11 Februari 2013
Djamaluddin, Thomas. 2012. Zona Tunggal Waktu Indonesia Mempersatukan,
tetapi Berpotensi Menimbulkan Inefisiensi. (Online), (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/03/11/zona-tunggal-waktu-indonesia-mempersatukan-tetapi-berpotensi-menimbulkan-inefi/),
diakses 11 Februari 2013
Hartono, Rudi.
1990/1991. Kartografi. Malang:
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang
Sudibyo, Muh.
Ma’rufin. 2013. Menimbang Ulang Penyatuan
Zona Waktu Indonesia. (Online)
(http://kafeastronomi.com/menimbang-ulang-penyatuan-zona-waktu-indonesia.html),
diakses 11 Februari 2013
Sudibyo, Muh.
Ma’rufin. 2011. Sang Nabi Pun Berputar:
Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya. Solo: Tinta Medina.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. (Online), (http://www.pemagangan.com/new/zregulasi/uu13-2003(1).pdf),
diakses 19 April 2013
Comments
Post a Comment